Solusi mencapai net zero emission terus diupayakan. Percepatan elektrifikasi terus diupayakan dengan segala cara. Semakin banyak kendaraan listrik bermunculan dan infrastruktur pun terus bertumbuh. Toyota juga ikut mendagangkan mobil tanpa emisi, namun itu bukan satu-satunya cara untuk mempercepat ke tahap net zero emission.
Salah satunya adalah konversi kendaraan listrik. Menurut Wakil Presiden Direktur Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam, saat ini terdapat 10 juta unit in operation (unit beredar di pasar) yang menggunakan jantung mekanis peminum bahan bakar minyak. Bila jumlah itu terkonversi menjadi kendaraan elektrifikasi harusnya dapat berkontribusi cukup besar dalam mencapai net zero emission.
“Kalau kita tidak melibatkan unit in operation, hanya mengandalkan produk baru. Sementara produk baru terus, tapi market segitu-gitu saja, kan susah. Jadi itu yang menjadi pertimbangan kita,” ucapnya.
Sebab pertumbuhan segmen elektrifikasi Tanah Air saat ini masih terbilang kecil. Ia juga belum mendorong spektrum penjualan kendaraan melebihi 1 juta unit. Padahal harapannya, kehadiran segmen baru dapat menaikkan besaran pasar otomotif Indonesia.
Walau begitu, Toyota masih terus melakukan studi guna dapat memenuhi segala kebutuhan konsumen. “Kalau masalah potensi, kita lihat seberapa kita bisa melakukan konversi dan dikonsumsi publik,” terang Bob.
Bagaimana potensi peminatnya? Bob membeberkan telah banyak yang meminta. Terutama institusi bertaraf internasional yang mulai menerapkan kebijakan kendaraan emisi rendah sebagai operasional. Bila melihat hal ini, artinya fleet menjadi fokus utama. Namun, Toyota turut menargetkan untuk pengguna pribadi.
“Mereka sudah meminta disupport dengan kendaraan emisi rendah. Bahkan mereka sudah ada policy dari headquarter, di mana mereka harus naik mobil listrik kalau tidak ya angkutan umum seperti MRT,” ungkapnya.
Lebih lanjut, konversi Toyota tak terbatas pada segmen elektrifikasi. Fokus penggarapan ini turut menjadi bagian dari pendekatan multi pathway pabrikan. Mereka melakukan harmonisasi semua teknologi mulai dari battery (BEV), hybrid baik HEV maupun PHEV, hingga fuel cell (FEV). Termasuk masih melibatkan ICE (internal combustion engine) dan flexy yang menggunakan jenis bahan bakar berbeda seperti etanol.
Dimulai dari peningkatan Euro sehingga emisi tercipta bisa direduksi. Kemudian mesin flexy yang bisa menggunakan etanol. Menurut Bob, penggunaan etanol khususnya di kendaraan hybrid mampu menciptakan tingkat emisi sama dengan BEV.
“Ke depan juga kita melihat selain BEV, biomassa itu juga merupakan satu alternatif solusi juga untuk energi kita ke depan. Karena masing-masing wilayah itu kan punya tipikal sumber-sumber energi sendiri. Misalnya di Sumatera dia punya sawit, cangkang sawit itu kan bisa dikonversi menjadi etanol. Molase di Jawa itu juga bisa berkontribusi jadi etanol,” terangnya.